Riwayat Kalijodo Dari Kali Angke Sampai Prostitusi.
Kalijodo memiliki riwayat sejarah keberadaan yang panjang. Sebelum menjadi area prostitusi,
tempat ini sebenarnya adalah tempat kongko atau ngumpulnya anak muda sebelum tahun
1950-an. Hanya saja saat itu namanya masih Kali Angke. Asal
muasal berubahnya nama Kali Angke menjadi Kalijodo tidak bisa dilepaskan dari
tradisi peh cun dan pesta air yang sering diselenggarakan di
kawasan tersebut.
Kalijodo sendiri berada di
Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Kalijodo terletak di sepanjang sungai
Ciliwung. Akses menuju kalijodo bisa
ditempuh dengan mengikuti Jalan Pesing. Keberadaan Kalijodo juga tidak lepas
dari tradisi perayaan Peh cun yang kerap diadakan oleh warga keturunan
Tionghoa di Kali Angke.
Asal Muasal Nama Kalijodo
Dulu disebut peh cun di
Kali Angke, belum di sebut Kalijodo. Karena Begitu terkenal, maka dinamailah Kalijodo,
karena orang mencari dan dapat jodoh di situ, Dalam tradisi China, Peh Cun adalah tradisi
yang diselenggarakan setiap hari 100 penanggalan imlek. Salah satu tradisi
dalam perayaan Peh Cun adalah pesta air.
Pesta air itu diikuti oleh
muda-mudi laki-laki dan perempuan yang sama-sama menaiki perahu melintasi Kali
Angke. Setiap perahu akan berisi tiga sampai empat orang laki-laki atau perempuan.
Di perahu tersebut, pihak laki-laki akan melihat ke perahu yang berisi
perempuan, kemudian jika saling suka mereka akan sama-sama melemparkan kue yang
bernama kue Tiong cu pia ke wanita yang di sukai, jika perempuan senang
ia akan melemparkan kue yang sama ke arah laki-laki yang menyukainya. Dari
sinilah kemudian kawasan ini berubah menjadi Kalijodo karena menjadi
kawasan untuk mencari jodoh.
Berbeda dengan saat ini,
di masa itu Kali Angke masih jernih. Itulah mengapa walau tradisi ini dilakukan
oleh etnis Tionghoa, tetapi masyarakat umum tetap memadati Kali Angke untuk
melihat perayaan tersebut. Tradisi Peh Cun dan Imlek sendiri tidak lagi
dirayakan setelah tahun 1958 setelah pemerintah mengeluarkan aturan tentang hal
tersebut. Aturan tersebut dibuat oleh Wali Kota Jakarta Sudiro yang menjabat
diera 1953-1960. Walikota masa itu,
jabatannya setara dengan gubernur di masa kini.
Kalijodo Dan Prostitusi
Salah satu lokasi
prostitusi yang telah ada di Jakarta sejak abad ke-18 adalah Kawasan Kalijodo.
Salah satu buku yang menggunakan kawasan lokalisasi kalijodoh ini sebagai
setting adalah Ca-Bau-Kan yang ditulis oleh Remy Silado. Asal muasal
nama nama Kalijodo berdasarkan pesta air pada tradisi Peh Cun, Remy
Silado dalam novelnya menceritakan jika ca-bau-kan lah yang kemudian melahirkan
istilah ini.
“Ca-Bau-Kan
sendiri artinya perempuan.” Tetapi mengalami penyempitan makna menjadi
perempuan pribumi yang diperbini Tionghoa dalam kedudukan yang tidak selalu
memperdulikan hukum Hindia Belanda. Dan kemudian menjadi Ca-bo untuk
menyebut istilah pelacur. Kali jodo
selama berabad telah menjadi tempat paling ramai di Jakarta. Di sini, sejak
dulu terlestari kebiasaan imigran Tionghoa menemukan jodoh, bukan untuk hidup
bersama selamanya, tetap sekadar berhibur diri sambil menikmati nyanyian klasik
Tionghoa, dinyanyikan para ca-bau-kan,” tulis Remy Silado.
Baca Juga: KaliJodoh Surga Dunia
Strategi Perang Ahok
Baca Juga: KaliJodoh Surga Dunia
Strategi Perang Ahok
Para bos bos yang
mengelola ca-bau-kan akan memberi mereka kostum model opera berbahan
sutera dengan warna-warni menyolok disertai bordir-bordir yang bermutu. Mereka
berada di perahu-perahu yang dipasang lampion Tiongkok, bergerak pelan-pelan di
kali itu,” demikian setting novel Ca-Bau-Kan.
Di perahu itu para Ca-bau-kan
menawarkan jasanya dengan menyanyikan lagu-lagu bersyair asmara dalam bahasa Cia-im.
Walaupun ca-bau-kan ada yang perempuan tionghoa totok, tetapi kebanyakan
asli pribumi yang mahir menyanyikan lagu Tionghoa walaupun tidak mengerti arti
nyanyiannya.
Walaupun demikian,
pengunjung kalijodo bukan hanya dari etnis Tionghoa tetapi juga pelbagai
suku yang mencari hiburan di situ. Walaupun pada awalnya, kegiatan prostitusi
tersebut dilakukan diatas perahu yang berlayar dari kwitang ke Kalijodo,
lambat-laun berubah menjadi rumah-rumah bordir.