Kasus Sumber Waras Menjatuhkan BPK dan
Menaikan Elektabilitas Ahok. Menurut KPK Kasus Sumber Waras Tidak adanya
perbuatan melangar hukum. Dugaan korupsi pembelian sebagian lahan RS SumberWaras oleh Pemerintah Provinsi DKI mulai diselidiki KPK pada 20 Agustus 2015.
Kasus tersebut pertama kali mencuat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan
Jakarta atas laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta pada 2014.
BPK DKI Jakarta menganggap prosedur
pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras menyalahi aturan. Soalnya, menurut
BPK, harga lahan yang dibeli jauh lebih mahal, sehingga merugikan keuangan
daerah sebesar Rp 191 miliar. BPK pun melakukan audit ulang atas permintaan
KPK. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama diperiksa seharian oleh BPK RI pada 23
November 2015. Hasil audit investigasi itu diserahkan kepada KPK pada 7
Desember 2015.
Pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsu (KPK) Agus Rahardjo dalam kasus pembelian RS Sumber Waras oleh Pemprov
DKI Jakarta yang menyebut tidak ada perbuatan melawan hukum
(PMH)."Penyidik kami tidak menemukan perbuatan melawan hukum," ujar
Agus saat rehat raker Komisi III DPR dengan KPK di gedung DPR, Kompleks
Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Agus melanjutkan, kesimpulan penyidik KPK
atas kasus pembelian lahan RS Sumber Waras berarti kasus ini selesai, lantaran
KPK saat ini masih melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. "Kalau
dari situ kan berarti sudah selesai. Perbuatan melawan hukumnya selesai, ya
kan," cetus Agus. Kendati demikian, Agus mengatakan institusi
yang ia pimpin bakal mengundang pihak BPK yang telah melakukan audit
investigasi terhadap kasus pembelian lahan RS Sumber Waras tersebut. "Kita
lebih baik mengundang BPK ketemu dengan penyidik kami," terang Agus.
Agus juga membantah temuan BPK terkait
pelanggaran dan kerugian keuangan negara dalam pembelian lahan RS Sumber Waras
tersebut. Menurut Agus, pendapat dari sejumlah ahli yang diundang KPK memang
ada selisih harga terhadap lahan tersebut hanya saja, "ada selisih tapi
tidak sebesar itu (Rp190 miliar). MAPPI (Masyarakat Pemantau Peradilan
Indonesia) hanya ketemu Rp9 miliar," tambah Agus.
Kasus sumber waras itu adalah murni hak
atau diskresi dari Ahok untuk memutuskan pembelian lahan yang tentu sudah di
setujui DPRD. Bagaimana proses administrasi pembelian itu ? Ya itu urusan
birokrasi di lingkungan SKPD. Gubernur tidak bisa intervensi. Lantas dimana
kemungkinan Ahok bersalah ? Ya apabila ada bukti dia memperkaya diri dari
keputusan yang diambilnya. Contoh, Walau memang gubernur punya hak diskresi
untuk menentukan kemana dana bansos itu di salurkan. namun Gubernur Sumut (
Gatot ) dan Banten ( Atut ) di tangkap KPK karena dia terbukti memperkaya diri
atas keputusan memberikan bansos tersebut.
Baca: Ahok Marah Dituduk Terima Rp.329 Miliar
Terungkap Skenario 4 Fakta Audit RS Sumber Waras
Baca: Ahok Marah Dituduk Terima Rp.329 Miliar
Terungkap Skenario 4 Fakta Audit RS Sumber Waras
Kalau ada bukti kesalahan proses maka itu
kesalahan system yang tugas negara memperbaikinya. Hal ini sama dengan kasus
luar batang dan lainnya. KPK tidak berhak mengusut atau mengadili kebijakan
publik yang dibuat oleh kepala daerah,selagi kepala daerah tidak terbukti
memperkaya diri. Itulah dasar sikap “KPK sampai membebaskan Ahok dari kasus
Sumber waras.”
Ahok Tidak Bersalah, Kasus Sumber Waras
Justru Menurunkan Integritas BPK dan Menaikan Elektabilitas Ahok
Benny K Harman Wakil Ketua Komisi III DPR
menyatakan pernyataan KPK soal kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras
menjadi ajang pembuktian integritas BPK. Di hadapan Komisi Hukum, KPK
menyatakan tidak terdapat indikasi
perbuatan melawan hukum dalam kasus pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras.
Benny mengaku sementara ini pihaknya tidak
dalam posisi memutuskan memanggil BPK atau tidak. “Kita akan lihat siapa yang
salah. Ini menyangkut integritas lembaga. BPK harus mempertanggungjawabkan itu.
Kalau tidak, berarti BPK melakukan pembohongan publik, tegas Benny di DPR,
Senayan, Jakarta, seperti dikutip Halloapakabar.com, rabu (15/6).
Meski demikian, Benny mendesak BPK
membuktikan temuannya yang menyebut pembelian sebagian lahan itu merugikan
negara. “Kita tidak berharap memanggil. Silakan temuan BPK ditindaklanjuti
apakah polisi, jaksa, atau KPK. BPK kan selalu lakukan audit dan (biasanya)
ditindaklanjuti penegak hukum (sekarang kok tidak),” ucapnya.
Benny juga menegaskan, pernyataan KPK
membingungkan. Bisa saja, ini akan menjadi preseden buruk ke depan. Laporan BPK
tidak akan berguna sama sekali karena badan audit negara itu tidak lagi bisa
dipercaya. “Saya khawatir BPK tunduk karena pimpinannya masuk dalam daftar
Panama Papers,” katanya. Benny mengatakan, unsur tindak pidana
korupsi tidak hanya perbuatan melawan hukum, namun juga penyalahgunaan wewenang
dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Soal Sumber Waras, KPK: Kalau Nggak Ada
Korupsinya Gimana Kami mau Masuk”
Pengamat Refly Harun Nilai Kasus Sumber
Waras Sangat Sederhana
Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun
mengungkapkan kasus ini sangat sederhana. Berangkat dari Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) BPK tentang APBD DKI 2014 yang membeberkan dugaan kesalahan alamat
dalam pembelian RSSW. Kesalahan ini berujung pada perbedaan Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) yang menyebabkan adanya indikasi kerugian DKI.
kata Refly "Kan sederhana sebenarnya
dan sudah terang benderang. Setelah dikonfirmasi lokasinya kan bukan di lokasi
yang ditunjuk BPK. Awalnya BPK menyebut harusnya pembelian
RSSW memakai Jalan Tomang Utara yang NJOP-nya Rp7 juta per meter persegi.
Sementara DKI membeli lahan RSSW berdasarkan alamat Jalan Kyai Tapa yang punya
NJOP sebesar Rp20 juta per meter. Sebagai penentu NJOP, Direktorat Jenderal
Pajak Kementerian Keuangan menyebutkan pajak lahan itu mengikuti NJOP Jalan
Kyai Tapa
Lantas Refly bilang muncul sejumlah pihak
yang menyatakan kejanggalan dan lainnya. Refly bilang hasil KPK yang tidak
menemukan unsur perlawanan hukum dalam kasus tersebut harusnya bisa membuktikan
tidak ada indikasi tindak pidana korupsi di dalamnya. "Ya setelahnya mudah
sekali, case close dong?," katanya.
Kalaupun ada yang perlu dipersoalkan dalam
kasus ini, ujar Refly adalah kasus penyalahan administratif. Namun kesalahan
administratif tak serta merta membawa pejabat publik ke korupsi. "Harus
dilihat kesalahan administrasinya membawa unsur korupsi tidak? Kalau tidak ya
perbaikannya adalah perbaikan administrasi," terang dia.
Hal ini dikatakan Refly karena sejatinya
tidak ada satupun pejabat yang tidak melakukan kesalahan administrasi. Refly
menuturkan Undang Undang nomor 8 tahun 2015 tentang Administrasi Pemerintahan
memberikan kelonggaran pejabat melakukan jalan potong administrasi.
Tapi bukan berarti juga pejabat bisa
berlindung di bawah peraturan ini. Semuanya harus dibuktikan," ungkap dia.
Sekadar diketahui, LHP BPK DKI mengindikasikan kerugian DKI sebear 191,33
miliar terkait kasus ini. BPK juga mempersoalkan sejumlah poin pembelian
seperti alamat RSSW, kajian pembelian dan prosedur pembelian. Kasus ini pun
diserahkan kepada KPK. KPK juga berencana menutup kasus ini. Namun belakangan
KPK ingin melakukan pertemuan terlebih dahulu dengan BPK.